Oleh
Firdanianty
Sebuah tulisan di Harian Kompas
(Selasa, 1/11/2011) mengungkapkan fakta bahwa perang talenta masih terus
terjadi. Dalam tulisan berjudul “Menyimak Kasus Trimegah Securities” itu,
diberitakan bahwa PT Trimegah Securities, perusahaan yang bergerak di bidang
jasa keuangan, investasi, dan perdagangan saham, melakukan protes keras kepada
UOB Kay Hian Securities. Trimegah telah kehilangan sekitar 25 persen
karyawannya sejak Juni 2011. Para karyawan itu pindah bersamaan dalam waktu
kurang dari empat bulan ke UOB Kay Hian Securities.
Manajemen Trimegah menilai tindakan
itu sebagai perekrutan oleh pihak UOB Kay Hian yang tidak beretika. Bahkan
dalam nota protesnya yang ditampilkan di Kompas.com, 26 Oktober 2011, Trimegah
menyebut tindakan itu sebagai aksi predatory recruitment.
Trimegah hanya satu di antara
puluhan bahkan ratusan perusahaan yang merasa kesal karena karyawan terbaiknya
dibajak oleh perusahaan lain. Ketika industri telekomunikasi booming
pada awal 2000, PT Excelcomindo Axiata (Excel) pernah mengalami kejadian
serupa. Puluhan karyawan Excel dibajak oleh perusahaan telekomunikasi lain yang
baru saja beroperasi.
Tren bajak-membajak sumber daya
manusia (SDM) di lingkungan perbankan juga marak dilakukan sejak 2003. Ketika
Bank Danamon hendak membesarkan Danamon Simpan Pinjam (DSP) pada tahun 2003,
banyak SDM BNI yang pindah ke sana. Ironisnya, tahun 2008 Bank Danamon yang
gantian kehilangan puluhan karyawannya karena secara borongan pindah ke Bank
Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) yang saat itu berekspansi meluaskan bisnis
ke sektor UKM.
Berbagai kasus tersebut memberikan
gambaran betapa tidak mudahnya mendapatkan dan mempertahankan SDM terbaik. Di
satu sisi, ada perusahaan yang telah bersusah payah mendidik SDM-nya dengan
mengalokasikan waktu dan dana yang besar untuk pelatihan dan pengembangan,
tetapi harus kehilangan orang-orang terbaiknya karena pindah ke perusahaan
lain.
Di sisi lain, ada perusahaan yang
sedang berekspansi dan membutuhkan karyawan yang sudah matang dalam jumlah
banyak. Perusahaan-perusahaan ini tidak mau menunggu lama karena ingin mengejar
para pesaing. Karena itu, mereka berani membayar mahal untuk dapat mengakuisisi
SDM terbaik dari berbagai perusahaan agar mau bergabung di tempatnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut,
perusahaan harus memikirkan cara agar dapat mempertahankan SDM terbaiknya, atau
kalaupun kehilangan SDM terbaik tidak sampai mengganggu kelancaran usaha. Salah
satu cara yang dapat dilakukan adalah menerapkan manajemen talenta.
Apa itu Manajemen Talenta?
Pella
dan Inayati dalam bukunya Talent Management (2011) mengartikan manajemen
talenta sebagai suatu proses untuk memastikan kemampuan perusahaan mengisi
posisi kunci pemimpin masa depan (future leader) dan posisi yang mendukung
kompetensi inti perusahaan (unique skill and high strategic value). Penerapan
manajemen talenta ditujukan untuk mengelola aliran talenta di suatu organisasi
dan memastikan tersedianya pasokan talenta yang selaras dengan kebutuhan
organisasi. Melalui manajemen talenta, organisasi diharapkan mampu
menyelaraskan orang yang tepat dengan pekerjaan yang tepat pada waktu yang juga
tepat, berdasarkan tujuan strategis, prioritas kegiatan organisasi atau bisnis
perusahaan.
Di
dalam penerapannya, perusahaan mengembangkan rencana dan proses pengembangan
talenta melalui 6 cara, yaitu:
1. Menarik
dan merekrut kandidat yang memenuhi syarat dengan latar belakang yang
kompetitif.
2. Memperbesar peluang pelatihan dan
pengembangan.
3. Mengelola
proses manajemen kinerja.
4. Mengelola
program retensi.
5. Mengelola
program promosi dan transisi.
6. Mengelola
dan menentukan gaji yang kompetitif.
Karyawan yang
berkualifikasi dan berketerampilan tertinggi dipilih dan dimasukkan ke dalam
suatu program pusat pengembangan talenta (talent pool). Program pusat
pengembangan talenta bertujuan memastikan karyawan potensial tersebut diberikan
berbagai perlakuan, seperti pendidikan, pelatihan, eksposur pengalaman kerja,
penugasan, dan pemberdayaan. Melalui program tersebut kompetensi karyawan yang
bersangkutan dioptimumkan, sehingga dapat berkontribusi maksimum kepada
organisasi dan pada saat yang sama mencapai tujuan-tujuan pribadinya.
Belajar pada Astra
PT Astra International Tbk. adalah
salah satu perusahaan yang telah berpengalaman mencetak SDM terbaik untuk
kebutuhan organisasi. Dalam mempersiapkan pemimpin di setiap jenjang, Astra dihadapkan
pada dua pilihan, yaitu strategi “make” atau “buy”. Strategi “make”
menitikberatkan pada pengembangan potensi yang ada di dalam perusahaan.
Sedangkan strategi “buy” titik beratnya adalah mendapatkan kandidat dari
luar organisasi.
Astra memilih yang pertama (strategi
“make”), di mana promosi dan suksesi kepemimpinan dilakukan dari dalam
perusahaan sendiri. Astra sangat menekankan penanaman nilai-nilai perusahaan
sehingga pilihan strategi “make” merupakan cara yang paling tepat untuk
memastikan bahwa nilai-nilai perusahaan telah tertanam dengan baik dan menjadi
karakter dari setiap jajaran manajemen. Berkaitan dengan pilihan strategi ini, maka
pengembangan menjadi kata kunci.
Pilihan
pengembangan talenta mengharuskan Astra melakukan pemilihan kandidat terbaik
dari puluhan ribu calon karyawan yang tercetak setiap tahun. Untuk mencapai
tujuan itu, Astra Group melakukan upaya jemput bola dengan merekrut langsung
kandidat dari berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Untuk
melakukan seleksi ke jenjang yang lebih tinggi, rotasi dan promosi dilakukan
berdasarkan pemetaan atas potensi dan kinerja yang sudah terlebih dahulu
dilakukan. Dalam hal ini, Astra menggunakan Human Asset Value (HAV)
untuk memetakan karyawan sesuai dengan potensi dan kinerjanya, yang terbagi ke
dalam 9 kuadran.
Karyawan
yang masuk dalam kategori “Stars” adalah mereka yang memiliki potensi
tinggi dan kinerja yang jauh di atas rata-rata. Jika kinerjanya tinggi tetapi
potensinya rendah, maka dikategorikan sebagai “Career person”. Sedangkan
“Future Star” adalah mereka yang memiliki parameter terbaik dari salah
satu parameter penilaian, yaitu kinerja atau potensinya. Pemetaan ini akan
menjadi dasar dalam penentuan peringkat apakah seorang karyawan dapat
dipromosikan atau tidak.
Tahap
awal untuk memilih talenta adalah dengan menentukan kompetensi kepemimpinan
yang diinginkan. Kompetensi kepemimpinan ini sangat ditekankan karena
perusahaan membutuhkan para pemimpin yang memiliki nilai-nilai dan budaya yang
selaras dengan nilai-nilai dan budaya Astra. Manajemen Astra percaya bahwa
perusahaan yang memiliki nilai-nilai yang sama akan membuat perusahaan terus
tumbuh dan berkembang dalam jangka panjang.
Karyawan yang telah diidentifikasi
sebagai talenta, dipikirkan untuk dijaga agar orang tersebut tidak keluar dari
Astra. Berbagai program pengembangan dan retention dipersiapkan. Dalam
mengelola talenta, diperlukan ukuran kinerja yang jelas. Seorang talenta harus
mempunyai potensi dan prestasi yang baik. Banyak cara yang dapat dilakukan
untuk menahan karyawan yang bertalenta agar tidak keluar dari perusahaan.
Program-programnya tidak selalu berkaitan langsung dengan uang. Dalam program
remunerasi, misalnya, Astra membedakan sang juara dengan orang-orang yang tidak
juara. Karyawan yang berprestasi (juara) akan mendapatkan piala, sedangkan yang
tidak juara tidak mendapatkan apa-apa.
Perbedaan lainnya adalah, kesempatan
untuk pengembangan diri, promosi, dan rotasi. Hal itu selain untuk memberi
sinyal, juga dilakukan dalam rangka menjaga motivasi dan ekspektasi para
talenta.
Program pengembangan juga dikaitkan
dengan program retensi. Astra mengirim para calon pemimpin untuk mengikuti
program pengembangan dan pelatihan di luar negeri. Setiap tahun Astra memilih
karyawan yang tergolong terbaik untuk dikirim ke luar negeri, baik melakukan benchmarking
maupun mengambil kursus singkat dari sekolah bisnis terkenal di luar negeri
seperti Harvard Business School, INSEAD, atau Stanford University, sesuai
dengan kebutuhan dan tingkatan jenjang kepangkatannya. Pelatihan yang diikuti
ini selain harus tepat sasaran, juga diselaraskan dengan tujuan organisasi dan
aspirasi talenta.
Efektivitas
manajemen SDM yang tecermin dari Human Capital Index bila dikaitkan
dengan aspek kualitas hubungan organisasi dengan karyawan, berpengaruh positif
terhadap tingkat keterikatan karyawan (employee engagement). Dr. Barbara
Griffin dari University of Western Sydney, Australia, melakukan survei Best
Employer untuk Hewitt Associate, Juli 2007. Griffin mengatakan bahwa
keterikatan karyawan yang buruk berpengaruh terhadap produktivitas dan kepuasan
pelanggan, di samping meningkatkan turnover (Permana, 2010). Sebaliknya,
keterikatan karyawan yang tinggi pada perusahaan dapat meningkatkan
produktivitas kerja dan kepuasan karyawan, yang berujung pada kepuasan
pelanggan.
Berbagai
hasil penelitian dengan jelas menunjukkan bahwa mengadopsi dan berinvestasi
dalam praktik terbaik manajemen talenta akan menghasilkan perbaikan dalam
berbagai aspek. Orang-orang terbaik di perusahaan terbukti berperan besar dalam
meningkatkan pendapatan, kualitas, produktivitas, serta kepuasan pelanggan, dan
di sisi lain dapat mengurangi biaya dan waktu proses. Pada akhirnya, semua itu
akan dapat meningkatkan imbal balik investasi kepada pemegang saham. □
(Bogor, Kamis, 1 Desember 2011)
0 komentar:
Posting Komentar