Senin, 13 Agustus 2012

Pendidikan Kaum Tertindas (1)


Oleh Firdanianty

Dalam kuliah Komunikasi dan Perubahan Sosial, dosen kami, Prof.Dr.Ir. Sumardjo, menyebut judul buku yang menjadi salah satu rujukan untuk dibaca mahasiswa, yakni Pendidikan Kaum Tertindas. Buku ini ditulis oleh penulis asal Brasil, Paulo Freire, dan terbit pertama kali empat dekade lalu (1972). Di Indonesia, buku ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit LP3S pada 1984. Kendati usia buku ini nyaris sama dengan usia hidup saya, isinya masih bisa dikatakan up to date. Membaca halaman demi halaman buku ini, saya seperti dihadapkan pada kondisi yang – rasanya – tidak jauh berbeda dengan kondisi negara kita saat ini.


Di awal tulisan, Paulo menjelaskan bahwa buku Pendidikan Kaum Tertindas merupakan hasil pengamatannya selama enam tahun dalam pengasingan politik, yang diperkaya oleh pengalaman sang penulis dari berbagai kegiatan pendidikan di Brasil. Hati kecil saya berkata, “Orang ini pasti hebat!” Bagaimana tidak, hanya orang hebat yang mampu melakukan pengamatan dan menuangkan pemikirannya saat berada di dalam pengasingan. Saya akui, kreativitas menulis biasanya mengalir deras ketika seseorang berada di bawah tekanan yang tinggi. Barangkali, latar belakang penulisnya yang membedakan buku ini dari buku lainnya. Di buku ini terasa sekali kritik pedas Paulo terhadap ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negerinya. Kadang terkesan sinis, dan dengan kata-kata yang tajam ia menyindir pihak-pihak yang menurutnya “tidak mau menempuh risiko kebebasan”.

“Orang memang jarang mengakui secara terbuka ketakutan mereka akan kebebasan ini,” ungkapnya, “bahkan sebaliknya, cenderung selalu menutup-nutupi – sering kali tanpa sadar – dengan menampilkan diri sebagai pembela kebebasan.” Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa orang memulas kesangsian dan kekhawatiran dengan gaya sangat tenang.  Akan tetapi, sebenarnya mereka telah mengacaukan kebebasan itu dengan memelihara status quo. Apa maksud Paulo dengan kalimat-kalimat itu? Saya menduga, ia ingin menyampaikan bahwa sebagian besar orang lebih memilih rasa aman dengan bersembunyi di balik ketakutannya.

Menurut Paulo, berpikir dan melakukan pengkajian saja tidak akan menghasilkan Pendidikan Kaum Tertindas. “Buku ini berakar langsung dari situasi konkret yang mewakili reaksi kaum pekerja (petani maupun buruh perkotaan) serta masyarakat kelas menengah yang telah saya amati secara langsung maupun tidak langsung sepanjang pekerjaan pendidikan saya,” katanya. Alhasil, pengamatan terus-menerus itu memberinya kesempatan untuk memodifikasi atau memperkuat pengkajiannya.

Paulo menyadari bahwa – besar kemungkinan – bukunya akan membangkitkan reaksi negatif dari sejumlah pembaca. Ia mengungkap secara terus terang bahwa beberapa orang mungkin akan menganggap posisinya yang berhadapan langsung dengan masalah pembebasan manusia itu sebagai sesuatu yang idealistik. “Oleh karena itu, buku yang memang diakui masih bersifat sementara ini, hanyalah cocok buat orang-orang radikal,” tuturnya lugas.  Ia meyakini bahwa semakin radikal seseorang, semakin jauh dia masuk ke dalam realitas. Mengapa? Alasan yang diajukannya, orang tersebut dapat mengetahui dengan lebih baik, sehingga ia dapat mengubahnya lebih baik lagi. Alasan lainnya, orang tidak takut lagi untuk berhadapan dengan apa pun, untuk mendengarkan, dan menyaksikan dunia yang terkuat. Pada akhirnya, yang diharapkan Paulo adalah, seseorang tidak lagi gentar bertemu muka dengan rakyat dan melakukan dialog bersama mereka.

Saya menilai buku ini sangat dalam maknanya. Tapi itu bukan berarti saya tidak menemukan kesulitan saat membacanya. Jujur saja, tidak mudah bagi saya mencerna setiap kalimat yang saya baca. Selain sangat bernuansa politik – yang tidak saya kuasai – buku ini juga sarat kata-kata filosofis. Lengkaplah sudah. Saya hanya ingin mengatakan bahwa buku ini perlu dibaca pelan-pelan sambil direnungkan makna di balik setiap kata yang tertulis.

Baiklah, saya tidak ingin berlama-lama di bagian pendahuluan. Saya tak sabar untuk menceritakan apa yang saya temukan di bab 2 buku ini. Di sini Paulo menyoroti tentang ketimpangan-ketimpangan di bidang pendidikan, yang dia beri istilah konsep pendidikan “gaya bank”. Ia mencermati hubungan guru-murid di semua tingkatan, baik di dalam maupun luar sekolah. Menurutnya, isi pelajaran yang diceritakan, yang menyangkut nilai-nilai maupun empiris dari realitas, dalam proses penyampaiannya cenderung kaku dan tidak hidup.

“Guru membicarakan realitas seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Atau, dia menguraikan sebuah topik yang sama sekali asing bagi pengalaman murid-muridnya. Tugasnya adalah “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan – bahan-bahan yang lepas dari realitas. Kata-kata telah dikosongkan dari makna yang sesungguhnya dan menjadi pembicara yang boros kata-kata asing,” demikian pendapat Paulo.

Saya senyum sendiri membaca paragraf ini. Tiba-tiba saya teringat cerita anak saya yang duduk di kelas 1 SMP mengenai guru Geografinya. Menurut anak saya, gurunya itu sangat tidak antusias saat mengajar. Cara menerangkannya membosankan, dan anak saya mengaku sering mengantuk di kelas saat pelajaran ini. Nah, berapa banyak di antara kita yang punya pengalaman seperti itu?

Paulo mencontohkan, guru matematika mengatakan empat kali empat sama dengan enam belas. Murid-murid lalu mencatat, menghafal dan mengulangi kata-kata gurunya tanpa memahami arti sesungguhnya dari empat kali empat sama dengan enam belas. Ia mengkritisi, dalam pendidikan bercerita, guru sebagai pencerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi, katanya, para murid diubah menjadi “bejana-bejana”, wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin penuh seorang guru mengisi wadah-wadah itu, ia akan dianggap sebagai guru yang baik. Oleh karenanya, pendidikan terkesan seperti sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Maka, yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank”, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.

Tanpa usaha mencari, tanpa praksis – menurut Paulo – manusia tidak akan menjadi benar-benar manusiawi. Ia berani mengatakan bahwa pengetahuan hanya lahir melalui usaha penemuan dan penemuan ulang, melalui pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus-menerus dan penuh harapan.  Sementara itu, dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. “Menganggap bodoh secara mutlak pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan. Berarti mengingkari pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian,” katanya, tegas.

Lebih jauh Paulo berpendapat, konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Pendidikan yang membebaskan justru sebaliknya, terletak pada usaha ke arah rekonsiliasi. Secara kritis Paulo menegaskan, model pendidikan gaya bank yang mengurangi atau menghapuskan daya kreasi murid, serta menumbuhkan sikap mudah percaya, sejatinya menguntungkan kepentingan kaum penindas. Para guru yang menggunakan pendekatan gaya bank, secara sadar atau tidak sadar, belum memahami bahwa pengetahuan yang mereka tanamkan itu berlawanan dengan realitas. Namun, cepat atau lambat, kontradiksi tersebut akan mengarahkan murid-murid yang semula pasif untuk berbalik melakukan perlawanan.

Lewat pengalaman yang mereka lalui, Paulo yakin, para murid akan menemukan bahwa pandangan hidupnya yang sekarang tidak sesuai dengan fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Murid-murid akhirnya memahami bahwa realitas itu adalah sebuah proses yang mengalami perubahan terus-menerus.  Jika manusia adalah pejuang dan meyakini bahwa fitrah ontologisnya adalah humanisasi, maka cepat atau lambat mereka akan melibatkan diri ke dalam perjuangan yang membebaskan diri sendiri.

Akan tetapi, seorang pendidik yang humanis tidak dapat menanti begitu saja kemungkinan itu terwujud. Sejak semula, usaha-usaha yang dijalankannya harus berlangsung di tengah murid-muridnya agar mereka terlibat dalam pemikiran kritis serta usaha-usaha ke arah humanisasi satu sama lain. Paulo menggarisbawahi bahwa upaya itu harus dilandasi oleh keyakinan yang mendalam terhadap sesama manusia dan daya cipta mereka. “Untuk mencapai hal tersebut, dia mesti menjadi seorang rekan bagi murid-muridnya pada saat berhubungan dengan mereka,” tuturnya menegaskan.

Membaca bab 2 buku ini, saya disadarkan untuk melihat kembali proses pendidikan yang sudah saya lalui sejauh ini. Apakah selama ini saya termasuk murid tertindas? Hm, mungkin pernah, tapi tidak semua guru yang pernah singgah dalam hidup saya merupakan kepanjangan tangan kaum penindas. Saya akui, beberapa guru mampu memberikan inspirasi kepada saya.  Namun begitu, saya tak memungkiri bahwa satu-dua guru masih bertahan dengan pendekatan gaya bank dan mengambil peran sebagai kaum penindas. Belum lama ini saya dan teman-teman mengalaminya di ruang kuliah, di mana seorang dosen berhasil membuat kami mahasiswa pascasarjana – takut bicara. Dalam kuliah yang berdurasi 2,5 jam itu suasananya mencekam. Kami serasa terpenjara. Jangankan mengeluarkan pendapat, bertanya pun saya tak berani. Inilah dosen paling temperamental yang pernah saya temui dalam hidup saya. Selesai kuliah, sambil guyon, seorang teman berkata, “Kita baru saja mengalami kekerasan intelektual.”

Kendati kuliah dengan dosen tersebut sudah berlalu, kami masih sering membicarakannya hingga kini. Saya berpikir, seandainya saat itu saya sudah membaca buku ini, akan beranikah saya mengkritisi perilaku dosen yang “seenaknya sendiri” itu? Wah, sangat sulit menjawab pertanyaan ini. Bagaimanapun, sejak kecil kita sudah diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua dari kita, terlebih jika orang itu adalah guru/dosen kita. Lebih baik saya menjawabnya dengan mengutip kata-kata Paulo. “Orang tidak dapat mencari menangnya sendiri. Solidaritas menuntut adanya komunikasi sejati, dan konsep gaya bank yang mengarahkan pendidik seperti itu (bersikap seperti kaum penindas) senantiasa takut dan menjauhi komunikasi.” (Bogor, Sabtu, 3 Maret 2012)



0 komentar:

Posting Komentar