Oleh
Firdanianty
Dalam
kuliah Komunikasi dan Perubahan Sosial, dosen kami, Prof.Dr.Ir. Sumardjo,
menyebut judul buku yang menjadi salah satu rujukan untuk dibaca mahasiswa,
yakni Pendidikan Kaum Tertindas. Buku
ini ditulis oleh penulis asal Brasil, Paulo Freire, dan terbit pertama kali
empat dekade lalu (1972). Di Indonesia, buku ini diterbitkan pertama kali oleh
penerbit LP3S pada 1984. Kendati usia buku ini nyaris sama dengan usia hidup
saya, isinya masih bisa dikatakan up to
date. Membaca halaman demi halaman buku ini, saya seperti dihadapkan pada
kondisi yang – rasanya – tidak jauh berbeda dengan kondisi negara kita saat
ini.
Di
awal tulisan, Paulo menjelaskan bahwa buku Pendidikan
Kaum Tertindas merupakan hasil pengamatannya selama enam tahun dalam
pengasingan politik, yang diperkaya oleh pengalaman sang penulis dari berbagai
kegiatan pendidikan di Brasil. Hati kecil saya berkata, “Orang ini pasti
hebat!” Bagaimana tidak, hanya orang hebat yang mampu melakukan pengamatan dan menuangkan
pemikirannya saat berada di dalam pengasingan. Saya akui, kreativitas menulis
biasanya mengalir deras ketika seseorang berada di bawah tekanan yang tinggi. Barangkali,
latar belakang penulisnya yang membedakan buku ini dari buku lainnya. Di buku
ini terasa sekali kritik pedas Paulo terhadap ketimpangan-ketimpangan yang
terjadi di negerinya. Kadang terkesan sinis, dan dengan kata-kata yang tajam ia
menyindir pihak-pihak yang menurutnya “tidak mau menempuh risiko kebebasan”.
“Orang
memang jarang mengakui secara terbuka ketakutan mereka akan kebebasan ini,”
ungkapnya, “bahkan sebaliknya, cenderung selalu menutup-nutupi – sering kali
tanpa sadar – dengan menampilkan diri sebagai pembela kebebasan.” Lebih lanjut,
ia memaparkan bahwa orang memulas kesangsian dan kekhawatiran dengan gaya
sangat tenang. Akan tetapi, sebenarnya
mereka telah mengacaukan kebebasan itu dengan memelihara status quo. Apa maksud Paulo dengan kalimat-kalimat itu? Saya
menduga, ia ingin menyampaikan bahwa sebagian besar orang lebih memilih rasa
aman dengan bersembunyi di balik ketakutannya.
Menurut
Paulo, berpikir dan melakukan pengkajian saja tidak akan menghasilkan Pendidikan Kaum Tertindas. “Buku ini
berakar langsung dari situasi konkret yang mewakili reaksi kaum pekerja (petani
maupun buruh perkotaan) serta masyarakat kelas menengah yang telah saya amati
secara langsung maupun tidak langsung sepanjang pekerjaan pendidikan saya,”
katanya. Alhasil, pengamatan terus-menerus itu memberinya kesempatan untuk
memodifikasi atau memperkuat pengkajiannya.
Paulo
menyadari bahwa – besar kemungkinan – bukunya akan membangkitkan reaksi negatif
dari sejumlah pembaca. Ia mengungkap secara terus terang bahwa beberapa orang
mungkin akan menganggap posisinya yang berhadapan langsung dengan masalah
pembebasan manusia itu sebagai sesuatu yang idealistik. “Oleh karena itu, buku
yang memang diakui masih bersifat sementara ini, hanyalah cocok buat
orang-orang radikal,” tuturnya lugas. Ia
meyakini bahwa semakin radikal seseorang, semakin jauh dia masuk ke dalam
realitas. Mengapa? Alasan yang diajukannya, orang tersebut dapat mengetahui
dengan lebih baik, sehingga ia dapat mengubahnya lebih baik lagi. Alasan lainnya,
orang tidak takut lagi untuk berhadapan dengan apa pun, untuk mendengarkan, dan
menyaksikan dunia yang terkuat. Pada akhirnya, yang diharapkan Paulo adalah,
seseorang tidak lagi gentar bertemu muka dengan rakyat dan melakukan dialog bersama
mereka.
Saya
menilai buku ini sangat dalam maknanya. Tapi itu bukan berarti saya tidak
menemukan kesulitan saat membacanya. Jujur saja, tidak mudah bagi saya mencerna
setiap kalimat yang saya baca. Selain sangat bernuansa politik – yang tidak
saya kuasai – buku ini juga sarat kata-kata filosofis. Lengkaplah sudah. Saya
hanya ingin mengatakan bahwa buku ini perlu dibaca pelan-pelan sambil
direnungkan makna di balik setiap kata yang tertulis.
Baiklah,
saya tidak ingin berlama-lama di bagian pendahuluan. Saya tak sabar untuk menceritakan
apa yang saya temukan di bab 2 buku ini. Di sini Paulo menyoroti tentang
ketimpangan-ketimpangan di bidang pendidikan, yang dia beri istilah konsep
pendidikan “gaya bank”. Ia mencermati hubungan guru-murid di semua tingkatan,
baik di dalam maupun luar sekolah. Menurutnya, isi pelajaran yang diceritakan,
yang menyangkut nilai-nilai maupun empiris dari realitas, dalam proses
penyampaiannya cenderung kaku dan tidak hidup.
“Guru
membicarakan realitas seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah
satu sama lain, dan dapat diramalkan. Atau, dia menguraikan sebuah topik yang
sama sekali asing bagi pengalaman murid-muridnya. Tugasnya adalah “mengisi”
para murid dengan segala bahan yang dituturkan – bahan-bahan yang lepas dari
realitas. Kata-kata telah dikosongkan dari makna yang sesungguhnya dan menjadi
pembicara yang boros kata-kata asing,” demikian pendapat Paulo.
Saya
senyum sendiri membaca paragraf ini. Tiba-tiba saya teringat cerita anak saya
yang duduk di kelas 1 SMP mengenai guru Geografinya. Menurut anak saya, gurunya
itu sangat tidak antusias saat mengajar. Cara menerangkannya membosankan, dan
anak saya mengaku sering mengantuk di kelas saat pelajaran ini. Nah, berapa
banyak di antara kita yang punya pengalaman seperti itu?
Paulo
mencontohkan, guru matematika mengatakan empat kali empat sama dengan enam
belas. Murid-murid lalu mencatat, menghafal dan mengulangi kata-kata gurunya
tanpa memahami arti sesungguhnya dari empat kali empat sama dengan enam belas.
Ia mengkritisi, dalam pendidikan bercerita, guru sebagai pencerita mengarahkan murid-murid
untuk menghafal secara mekanis isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk
lagi, katanya, para murid diubah menjadi “bejana-bejana”, wadah-wadah kosong
untuk diisi oleh guru. Semakin penuh seorang guru mengisi wadah-wadah itu, ia
akan dianggap sebagai guru yang baik. Oleh karenanya, pendidikan terkesan
seperti sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru
adalah penabungnya. Maka, yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru
menyampaikan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima,
dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid. Inilah konsep pendidikan
“gaya bank”, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya
terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.
Tanpa
usaha mencari, tanpa praksis – menurut Paulo – manusia tidak akan menjadi
benar-benar manusiawi. Ia berani
mengatakan bahwa pengetahuan hanya lahir melalui usaha penemuan dan penemuan
ulang, melalui pencarian manusia yang gelisah, tidak sabar, terus-menerus dan
penuh harapan. Sementara itu, dalam
konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang
dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa. “Menganggap bodoh secara mutlak
pada orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan. Berarti mengingkari
pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian,” katanya, tegas.
Lebih
jauh Paulo berpendapat, konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai
makhluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur. Pendidikan
yang membebaskan justru sebaliknya, terletak pada usaha ke arah rekonsiliasi. Secara
kritis Paulo menegaskan, model pendidikan gaya bank yang mengurangi atau
menghapuskan daya kreasi murid, serta menumbuhkan sikap mudah percaya,
sejatinya menguntungkan kepentingan kaum penindas. Para guru yang menggunakan
pendekatan gaya bank, secara sadar atau tidak sadar, belum memahami bahwa
pengetahuan yang mereka tanamkan itu berlawanan dengan realitas. Namun, cepat
atau lambat, kontradiksi tersebut akan mengarahkan murid-murid yang semula
pasif untuk berbalik melakukan perlawanan.
Lewat
pengalaman yang mereka lalui, Paulo yakin, para murid akan menemukan bahwa
pandangan hidupnya yang sekarang tidak sesuai dengan fitrahnya untuk menjadi
manusia seutuhnya. Murid-murid akhirnya memahami bahwa realitas itu adalah
sebuah proses yang mengalami perubahan terus-menerus. Jika manusia adalah pejuang dan meyakini bahwa
fitrah ontologisnya adalah humanisasi, maka cepat atau lambat mereka akan
melibatkan diri ke dalam perjuangan yang membebaskan diri sendiri.
Akan
tetapi, seorang pendidik yang humanis tidak dapat menanti begitu saja
kemungkinan itu terwujud. Sejak semula, usaha-usaha yang dijalankannya harus berlangsung
di tengah murid-muridnya agar mereka terlibat dalam pemikiran kritis serta
usaha-usaha ke arah humanisasi satu sama lain. Paulo menggarisbawahi bahwa
upaya itu harus dilandasi oleh keyakinan yang mendalam terhadap sesama manusia
dan daya cipta mereka. “Untuk mencapai hal tersebut, dia mesti menjadi seorang
rekan bagi murid-muridnya pada saat berhubungan dengan mereka,” tuturnya
menegaskan.
Membaca
bab 2 buku ini, saya disadarkan untuk melihat kembali proses pendidikan yang
sudah saya lalui sejauh ini. Apakah selama ini saya termasuk murid tertindas?
Hm, mungkin pernah, tapi tidak semua guru yang pernah singgah dalam hidup saya
merupakan kepanjangan tangan kaum penindas. Saya akui, beberapa guru mampu
memberikan inspirasi kepada saya. Namun
begitu, saya tak memungkiri bahwa satu-dua guru masih bertahan dengan
pendekatan gaya bank dan mengambil peran sebagai kaum penindas. Belum lama ini
saya dan teman-teman mengalaminya di ruang kuliah, di mana seorang dosen
berhasil membuat kami – mahasiswa pascasarjana – takut bicara. Dalam kuliah yang berdurasi 2,5 jam itu suasananya
mencekam. Kami serasa terpenjara. Jangankan mengeluarkan pendapat, bertanya pun
saya tak berani. Inilah dosen paling temperamental yang pernah saya temui dalam
hidup saya. Selesai kuliah, sambil guyon,
seorang teman berkata, “Kita baru saja mengalami kekerasan intelektual.”
Kendati
kuliah dengan dosen tersebut sudah berlalu, kami masih sering membicarakannya
hingga kini. Saya berpikir, seandainya saat itu saya sudah membaca buku ini, akan
beranikah saya mengkritisi perilaku dosen yang “seenaknya sendiri” itu? Wah,
sangat sulit menjawab pertanyaan ini. Bagaimanapun, sejak kecil kita sudah
diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua dari kita, terlebih jika orang
itu adalah guru/dosen kita. Lebih baik saya menjawabnya dengan mengutip
kata-kata Paulo. “Orang tidak dapat mencari menangnya sendiri. Solidaritas
menuntut adanya komunikasi sejati, dan konsep gaya bank yang mengarahkan
pendidik seperti itu (bersikap seperti kaum penindas) senantiasa takut dan menjauhi
komunikasi.” □ (Bogor, Sabtu, 3 Maret 2012)
0 komentar:
Posting Komentar