Gambar 4. Lapangan olahraga.
Persis di depan bangunan kontainer ini terbentang lahan kosong seukuran
lapangan futsal. Di lapangan inilah anak-anak biasanya bermain bola (olahraga)
dan melakukan upacara bendera. Hari itu, saat saya berkunjung ke sekolah
Master, Rohim sedang mengawasi material yang akan diturunkan dari truk untuk
pembangunan lapangan futsal yang terletak di depan ruang kelas 1. (Gambar 4).
Gambar 5. Suasana belajar di kelas 4 dan kelas 5
Di seberangnya – berhadap-hadapan dengan bangunan kontainer – berdiri rumah
panggung yang terbuat dari kayu tanpa dinding yang menutupi ruangan sampai
utuh. Rumah panggung berukuran sekitar 5 x 6 M2 ini disekat menjadi dua
bagian dengan menggunakan papan triplek. Di sisi kiri adalah ruangan untuk kelas 5, dan sisi kanannya adalah kelas
4. Masing-masing kelas berisi sekitar 25-30 anak yang dipegang oleh seorang
guru. (Gambar 5).
Gambar
6. Pelayanan kesehatan untuk siswa sekolah Master
Di sisi kiri rumah panggung, terdapat bangunan untuk melayani kesehatan
anak-anak di sekolah Master maupun masyarakat tak mampu di lingkungan ini.
Menurut Rohim, secara bergantian dokter dari Puskesmas datang ke tempat ini
untuk memeriksakan kesehatan anak-anak. (Gambar 6)
Gambar
7. Suasana belajar di kelas 2
Gambar 8. Ruang belajar kelas 3
Saya lalu berjalan melewati ruang perawatan kesehatan. Di sebelahnya, terdapat
bangunan semi permanen untuk kelas 2 dan kelas 3. Ruang kelas 2 agak menjorok
ke dalam. (Gambar 7). Kendati lantainya sudah dikeramik, ruang kelas 3 terkesan
separuh jadi. Dindingnya hanya ditembok separuh, dan separuhnya lagi ditutupi
triplek atau seng yang seadanya saja. Bahkan bagian dinding lainnya dibiarkan
terbuka, sehingga siapapun yang melintasi ruangan ini bisa melongok ke
dalamnya. (Gambar 8).
Di sana juga tidak ada pintu. Saya bisa memandang ke dalam kelas dengan leluasa. Yang menakjubkan,
anak-anak ini tak terpengaruh oleh orang-orang yang berlalu lalang. Bahkan,
ketika saya mengambil foto pun, mereka tetap asyik belajar. Mungkin mereka
sudah terbiasa belajar di tengah keramaian.
Gambar
9. Rohimah, membantu memasak di dapur umum
Di sekolah Master anak-anak mendapat jatah makan siang. Menurut saya, Rohim
sangat memerhatikan makanan yang diberikan kepada anak-anak asuhnya. Menunya
cukup lengkap dan anak-anak melahap makan siangnya dengan semangat. Para ibu
dari anak-anak yang sekolah di sini bergantian membantu di dapur umum untuk
menyediakan makan siang bagi anak-anak. Ibu-ibu yang memasak tidak kelihatan
lelah. Justru mereka senang bisa membantu memasak makanan untuk anak-anak.
Salah seorang di antaranya Rohimah. Kehadiran sekolah Master sangat berarti bagi wanita ini. “Tiga anak saya
sekolah di sini karena saya tidak mampu membayar sekolah anak saya,” ujar
Rohimah yang dulu pernah mengamen ini. Rohimah mengaku sangat terbantu dengan
kehadiran sekolah Master. Bahkan ia sendiri pun berkesempatan mengembangkan
diri. “Alhamdulillah, sekolah Master
membiayai saya kursus potong rambut dan rias pengantin. Saya sekarang (menjadi)
tukang urut dan lulur,” ujarnya semringah. (Gambar 9).
Perkembangan yang ia rasakan juga dialami oleh anaknya, Rohimah mengaku
bangga bahwa anaknya termasuk anak yang masuk peringkat 10 besar yang dipilih
untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA nanti. Ia tak bisa menguraikan
kata-kata selain merasa bangga dengan sekolah ini. “Saya bahagia dan merasa tertolong.
Saya kan single parent, suami saya jauh di Aceh. Jadi saya serba sendiri
menghidupi dua orang anak di sini,” ujar Rohimah yang mengaku akan terus
membantu walau anaknya sudah lulus dari sekolah Master.
Gambar 10. Ruang melukis
Inilah ruang melukis (Gambar 10). Di ruangan ini anak-anak megekspresikan
kreativitasnya dalam bentuk lukisan yang indah. Di ruangan ini tergantung
lukisan Jenderal Sudirman yang tampak gagah di atas kudanya. Bersebelahan
dengan ruang melukis adalah ruang kelas 1 SMP. Suasana kelas cukup ribut dan
agak kotor saat saya memasuki ruangan ini. Melihat suasana kelas yang kotor,
Rohim meminta anak-anak membersihkan kelasnya terlebih dahulu. ”Inikan kelas
kita bersama,” katanya seraya menasihati, ”jadi harus kita rawat dan kondisinya
harus selalu bersih. Kalau kelasnya bersih, belajarnya juga enak.” (Gambar 11).
Gambar 11. Suasana belajar di kelas 1 SMP
Bangunan sekolah yang sederhana dan fasilitas yang apa adanya, ternyata tak
menyurutkan semangat anak-anak sekolah Master untuk belajar dan meraih prestasi
yang tinggi. Sebagian siswanya telah membuktikan. Berbagai prestasi telah
mereka ukir, antara lain juara karya tulis ilmiah, olimpiade science, lomba menulis surat untuk presiden,
dan beberapa lomba tingkat nasional lainnya. Belasan piala dan piagam berjajar
diletakkan di ruangannya. (Gambar 12). ”Anak-anak sekolah Master mempunyai
potensi yang bagus, cerdas dan luar biasa. Buktinya ada 7 anak jalanan yang
masuk UI,” tambah Rohim dengan mimik bangga pada prestasi siswa Master.
Gambar 12. Nurrohim di antara piala-piala yang diraih oleh anak-anak didiknya.
Gambar 13. Nurrohim di antara anak-anak jalanan yang
dikasihinya.
”Saya seperti ayah bagi anak-anak ini,” ungkap Rohim mengenai anak-anak
asuhnya. (Gambar 13). Dia mengibaratkan Master seperti menara pemancar yang
berkekuatan magnetik. ”Ini (sekolah Master) seperti magnet, tempat orang-orang
yang tidak terlayani oleh negara. Mereka punya mimpi dan harapan. Ini menjadi lembaga tumpuan harapan
mereka,” ujarnya filosofis.
“Banyak masalah bisa diselesaikan di sini, tetapi tidak semua masalah bisa
kita selesaikan. Kita coba menjadi fasilitator seperti terminal, mereka transit
di sini,” kata Rohim sambil menyebut jumlah murid Master sebanyak kurang lebih
2.000 orang, yang terdiri dari 200 siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) &
Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), 400 siswa Paket A, 600 siswa Paket B, dan 800
siswa Paket C. Bahkan, Yabim pun membiayai alumni Master yang melanjutkan ke
perguruan tinggi.
Keyakinan dan optimisme Rohim pada siswa Master sangat berdasar karena
sudah banyak siswa sekolah ini yang membuktikan potensi dan prestasinya.
“Mereka sebenarnya sejajar dengan orang-orang yang dianggap mampu, namun
kesempatan saja yang tidak mereka miliki. Ternyata ketika ada kesempatan,
mereka sama dengan yang lain. Saya lihat ada intan yang bertebaran di
jalan-jalan,” katanya menilai. □
|
0 komentar:
Posting Komentar