Senin, 13 Agustus 2012

Di Master, Orang Miskin Bisa Sekolah


Oleh: Firdanianty

Anak-anak jalanan yang tak memiliki orangtua memanggilnya ”Ayah”. Di tempat ini mereka ditampung, mendapat makan, diberi uang saku, dan bisa sekolah seperti anak-anak lain pada umumnya. Bahkan, bukan hanya anak-anak jalanan, anak-anak dari keluarga tak mampu pun datang ke tempat ini untuk memperoleh pendidikan yang layak. Inilah sekolah gratis untuk anak-anak miskin dan anak-anak yang terbuang.

Gambar 1. Ruang kelas 1 (Tampak Luar)


Bentuk bangunan berlantai dua itu sederhana saja. Hanya terbuat dari bekas kontainer yang diberi dua pintu dari bahan alumunium yang terletak di sisi kiri dan kanan. Di lantai bawah, di antara kedua pintu – juga di sisi baliknya – masing-masing dipasangkan dua buah jendela yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi udara dan mengurangi hawa panas di dalamnya.

”Ini ruang kelas satu,” Nurrohim, pemilik sekolah yang diberi nama Sekolah Master ini, memberitahu saya seraya mempersilakan saya masuk ke ruangan kontainer tersebut. Di dalamnya ada sekitar 30 anak berusia 6-7 tahun yang duduk tertib di lantai. Sesekali mereka menulis di atas lekar (meja pendek) berukuran 30 x 100 Cm2. Satu lekar diperuntukkan bagi 2-3 orang anak. Seorang wanita berusia sekitar 35 tahun sedang mengajari anak-anak membaca. (Gambar 1).

                                                                            Gambar 2. Suasana belajar di Kelas 1

Para siswanya duduk bersila kaki dan sedikit ribut mengikuti pelajaran dari gurunya. Nurrohim menyapa anak-anak dan menanyakan apa cita-cita mereka kelak. Menjawab pertanyaan itu, suara anak-anak terdengar bersahut-sahutan. Jawaban mereka beragam. Ada yang bercita-cita jadi dokter, guru, polisi, pemusik, juga pedagang. Anak-anak tampak bersemangat. Nurrohim juga menanyakan anak-anak itu dari mana mereka berasal. Ternyata, sebagian anak ada yang berasal dari Citayam, Bojong Gede, dan Pasar Minggu. Padahal, sekolah ini terletak di belakang terminal Depok, Jl. Margonda Raya. Sungguh, bukan perjalanan yang mudah dari Citayam ke Depok, apalagi jika dilalui dengan kereta api ekonomi. Anak-anak itu berangkat dari rumahnya sejak pagi hari, naik ke gerbong kereta api dan berjubelan di dalamnya bersama ratusan orang dewasa. Hati saya miris, tapi juga kagum pada semangat hidup mereka. (Gambar 2).

Itulah sedikit gambaran tentang sekolah gratis yang bernama Master itu. Sekolah ini sudah 10 tahun berdiri di belakang Masjid Al-Muttaqien di Terminal Depok, Jawa Barat. Setiap yang berkunjung dan mengenal tempat ini, akrab dengan satu nama, yaitu Nurrohim. Maklum, ia adalah perintis dan pengelola Yayasan Bina Insan Mandiri (Yabim) – yayasan yang membawahi sekolah Master – juga sebagai ’bapak angkat’ bagi anak-anak yang bersekolah di sini. Setiap hari selalu ada yang mencarinya untuk mendaftarkan anaknya sekolah. Beberapa media pun kerap datang untuk meliput sekolah yang lumayan terkenal di kawasan Depok, ini. (Gambar 3).

 Gambar 3. Susunan pengurus Yayasan Bina Insan Mandiri.
Nurrohim sebagai Ketua Yayasan.

”Sekolah ini dinamakan Master karena letaknya persis di belakang masjid dekat terminal Depok,” ujar Nurrohim, pencetus sekaligus pendiri Sekolah Master, diiringi tawa. Oh, saya baru paham bahwa Master adalah singkatan dari ”Masjid Terminal”. Hm, namanya keren juga, pikir saya. Siapa tahu anak-anak yang bersekolah di sini bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang Master.

”Sekolah ini berisi berbagai karakter anak. Mereka berbeda dari anak kebanyakan,” Rohim, begitu panggilannya mengawali kisahnya. Ia menyebut, beberapa anak didiknya memiliki latar belakang sebagai pecandu. ”Pecandu obat-obatan, ngelem aibon, dan minuman keras,” ungkapnya. Anak-anak yang datang dari jalanan, keluarga tak mampu, bahkan anak terlantar yang tidak mengenal orang tuanya, semua mendapat tempat di sekolah Master.

”Saya lebih suka menyebut ini (sekolah Master) sebagai pusat kegiatan belajar bagi anak-anak,” ujar Rohim merendah. Pusat kegiatan belajar ini bermula dari sebidang tanah wakaf seluas 6.000 meter persegi di sekitar Terminal Depok. Rohim dipercaya untuk mengelolanya dan merekrut beberapa temannya untuk membangun pusat kegiatan belajar gratis di lingkungan terminal.

Target Rohim adalah anak-anak yang terpinggirkan. Mereka yang besar di jalan, fakir miskin, yatim piatu, tuna wisma, dan dianggap sampah oleh masyarakat. Anak-anak itu datang ke tempat Rohim dan menganggapnya sebagai rumah mereka. ”Selama ini mereka kehilangan kasih sayang, tidak dipedulikan oleh keluarga dan lingkungannya. Bahkan banyak yang sudah dibuang,” ujar Rohim yang kerap kali dipanggil ”ayah” oleh anak-anak asuhnya. 


Gambar 4. Lapangan olahraga.

Persis di depan bangunan kontainer ini terbentang lahan kosong seukuran lapangan futsal. Di lapangan inilah anak-anak biasanya bermain bola (olahraga) dan melakukan upacara bendera. Hari itu, saat saya berkunjung ke sekolah Master, Rohim sedang mengawasi material yang akan diturunkan dari truk untuk pembangunan lapangan futsal yang terletak di depan ruang kelas 1. (Gambar 4).

Gambar 5. Suasana belajar di kelas 4 dan kelas 5

Di seberangnya – berhadap-hadapan dengan bangunan kontainer – berdiri rumah panggung yang terbuat dari kayu tanpa dinding yang menutupi ruangan sampai utuh. Rumah panggung berukuran sekitar 5 x 6 M2 ini disekat menjadi dua bagian dengan menggunakan papan triplek. Di sisi kiri adalah ruangan untuk kelas 5, dan sisi kanannya adalah kelas 4. Masing-masing kelas berisi sekitar 25-30 anak yang dipegang oleh seorang guru. (Gambar 5).

 Gambar 6. Pelayanan kesehatan untuk siswa sekolah Master

Di sisi kiri rumah panggung, terdapat bangunan untuk melayani kesehatan anak-anak di sekolah Master maupun masyarakat tak mampu di lingkungan ini. Menurut Rohim, secara bergantian dokter dari Puskesmas datang ke tempat ini untuk memeriksakan kesehatan anak-anak. (Gambar 6)

                                                             Gambar 7. Suasana belajar di kelas 2

Gambar 8. Ruang belajar kelas 3

Saya lalu berjalan melewati ruang perawatan kesehatan. Di sebelahnya, terdapat bangunan semi permanen untuk kelas 2 dan kelas 3. Ruang kelas 2 agak menjorok ke dalam. (Gambar 7). Kendati lantainya sudah dikeramik, ruang kelas 3 terkesan separuh jadi. Dindingnya hanya ditembok separuh, dan separuhnya lagi ditutupi triplek atau seng yang seadanya saja. Bahkan bagian dinding lainnya dibiarkan terbuka, sehingga siapapun yang melintasi ruangan ini bisa melongok ke dalamnya. (Gambar 8).

Di sana juga tidak ada pintu. Saya bisa memandang ke dalam kelas dengan leluasa. Yang menakjubkan, anak-anak ini tak terpengaruh oleh orang-orang yang berlalu lalang. Bahkan, ketika saya mengambil foto pun, mereka tetap asyik belajar. Mungkin mereka sudah terbiasa belajar di tengah keramaian. 

                                                      Gambar 9. Rohimah, membantu memasak di dapur umum

Di sekolah Master anak-anak mendapat jatah makan siang. Menurut saya, Rohim sangat memerhatikan makanan yang diberikan kepada anak-anak asuhnya. Menunya cukup lengkap dan anak-anak melahap makan siangnya dengan semangat. Para ibu dari anak-anak yang sekolah di sini bergantian membantu di dapur umum untuk menyediakan makan siang bagi anak-anak. Ibu-ibu yang memasak tidak kelihatan lelah. Justru mereka senang bisa membantu memasak makanan untuk anak-anak.

Salah seorang di antaranya Rohimah. Kehadiran sekolah Master sangat berarti bagi wanita ini. “Tiga anak saya sekolah di sini karena saya tidak mampu membayar sekolah anak saya,” ujar Rohimah yang dulu pernah mengamen ini. Rohimah mengaku sangat terbantu dengan kehadiran sekolah Master. Bahkan ia sendiri pun berkesempatan mengembangkan diri. “Alhamdulillah, sekolah Master membiayai saya kursus potong rambut dan rias pengantin. Saya sekarang (menjadi) tukang urut dan lulur,” ujarnya semringah. (Gambar 9).

Perkembangan yang ia rasakan juga dialami oleh anaknya, Rohimah mengaku bangga bahwa anaknya termasuk anak yang masuk peringkat 10 besar yang dipilih untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA nanti. Ia tak bisa menguraikan kata-kata selain merasa bangga dengan sekolah ini. “Saya bahagia dan merasa tertolong. Saya kan single parent, suami saya jauh di Aceh. Jadi saya serba sendiri menghidupi dua orang anak di sini,” ujar Rohimah yang mengaku akan terus membantu walau anaknya sudah lulus dari sekolah Master. 

Gambar 10. Ruang melukis

Inilah ruang melukis (Gambar 10). Di ruangan ini anak-anak megekspresikan kreativitasnya dalam bentuk lukisan yang indah. Di ruangan ini tergantung lukisan Jenderal Sudirman yang tampak gagah di atas kudanya. Bersebelahan dengan ruang melukis adalah ruang kelas 1 SMP. Suasana kelas cukup ribut dan agak kotor saat saya memasuki ruangan ini. Melihat suasana kelas yang kotor, Rohim meminta anak-anak membersihkan kelasnya terlebih dahulu. ”Inikan kelas kita bersama,” katanya seraya menasihati, ”jadi harus kita rawat dan kondisinya harus selalu bersih. Kalau kelasnya bersih, belajarnya juga enak.” (Gambar 11).

Gambar 11. Suasana belajar di kelas 1 SMP

Bangunan sekolah yang sederhana dan fasilitas yang apa adanya, ternyata tak menyurutkan semangat anak-anak sekolah Master untuk belajar dan meraih prestasi yang tinggi. Sebagian siswanya telah membuktikan. Berbagai prestasi telah mereka ukir, antara lain juara karya tulis ilmiah, olimpiade science, lomba menulis surat untuk presiden, dan beberapa lomba tingkat nasional lainnya. Belasan piala dan piagam berjajar diletakkan di ruangannya. (Gambar 12). ”Anak-anak sekolah Master mempunyai potensi yang bagus, cerdas dan luar biasa. Buktinya ada 7 anak jalanan yang masuk UI,” tambah Rohim dengan mimik bangga pada prestasi siswa Master.  

Gambar 12. Nurrohim di antara piala-piala yang diraih oleh anak-anak didiknya.

Gambar 13. Nurrohim di antara anak-anak jalanan yang dikasihinya.

”Saya seperti ayah bagi anak-anak ini,” ungkap Rohim mengenai anak-anak asuhnya. (Gambar 13). Dia mengibaratkan Master seperti menara pemancar yang berkekuatan magnetik. ”Ini (sekolah Master) seperti magnet, tempat orang-orang yang tidak terlayani oleh negara. Mereka punya mimpi dan harapan. Ini menjadi lembaga tumpuan harapan mereka,” ujarnya filosofis.

“Banyak masalah bisa diselesaikan di sini, tetapi tidak semua masalah bisa kita selesaikan. Kita coba menjadi fasilitator seperti terminal, mereka transit di sini,” kata Rohim sambil menyebut jumlah murid Master sebanyak kurang lebih 2.000 orang, yang terdiri dari 200 siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) & Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), 400 siswa Paket A, 600 siswa Paket B, dan 800 siswa Paket C. Bahkan, Yabim pun membiayai alumni Master yang melanjutkan ke perguruan tinggi.

Keyakinan dan optimisme Rohim pada siswa Master sangat berdasar karena sudah banyak siswa sekolah ini yang membuktikan potensi dan prestasinya. “Mereka sebenarnya sejajar dengan orang-orang yang dianggap mampu, namun kesempatan saja yang tidak mereka miliki. Ternyata ketika ada kesempatan, mereka sama dengan yang lain. Saya lihat ada intan yang bertebaran di jalan-jalan,” katanya menilai. □










0 komentar:

Posting Komentar