Judul Buku : 9
Summers 10 Autumns. Dari Kota Apel ke The Big Apple
Pengarang : Iwan
Setyawan
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 221
halaman
Cetakan : Ketiga
Terbit :
Maret 2011
Penulis Resensi :
Firdanianty
“Di kaki Gunung Panderman, di rumah berukuran 6 x
7 meter, seorang anak laki-laki bermimpi. Kelak, ia akan membangun kamar di
rumah mungilnya. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang terbatas, membuat ia
bahkan tak memiliki kamar sendiri.”
Cerita tentang kesuksesan selalu menggugah inspirasi. Setelah semua
rintangan dapat dilalui, dan hidup yang dulu terasa pahit dan kadang
menyakitkan berubah menjadi kebahagiaan, di saat itulah perjalanan hidup seseorang
menarik untuk dipelajari. Maka, lewat buku yang dikemas dengan gaya tutur novel
ini Iwan Setyawan ingin berbagi inspirasi kepada pembaca.
Buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata perjalanan hidup Iwan yang berasal
dari keluarga pas-pasan. Ia lahir di Batu-Malang, 2 Desember 1974. Ayahnya
seorang sopir angkot yang hanya mengecap pendidikan sampai kelas 2 SMP.
Sedangkan ibunya yang tidak tamat SD, digambarkan Iwan sebagai cermin
kesederhanaan yang sempurna. Iwan memiliki empat saudara perempuan yang
disebutnya empat pilar kokoh.
Iwan mengisahkan, di rumahnya yang mungil dan hampir tak berhalaman, ia dan
empat saudara perempuannya (dua kakak dan dua adik), serta ibu dan bapaknya,
berbagi dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil, satu dapur, dan satu kamar
mandi. Ia menulis, “Sebagai anak laki satu-satunya, aku selalu berpindah-pindah
tempat tidur. Dari kamar ibu bapakku, kamar kakak perempuanku, ruang tamu,
dapur, sampai tidur dengan kakek nenek di rumah bambu mereka yang berlantai
tanah, di sebelah rumah kami.”
Kondisi itu berlangsung hingga ia menginjak masa remaja. Ia pun bermimpi
ingin punya kamar sendiri suatu saat nanti. “Aku selalu menginginkan sebuah
kamar, bisa menutup pintunya dan mengarungi malam sendiri. Namun meminta kamar
sendiri pada saat itu bukan hanya permintaan yang sangat bodoh, tapi juga
pertanyaan yang tak berhati,” katanya. Lantaran sering batuk-batuk pada malam
hari, bapaknya membuatkan ranjang dari bambu. Ranjang ini ditempatkan di sudut
ruang tamu, di dekat pintu dapur, di depan kamar orangtuanya. “Ranjang bambu
berukuran kira-kira 0,5 x 1,5 meter itu adalah ranjang pertamaku,”
tulisnya.
Hidup dalam kondisi yang serba kekurangan, ternyata tidak mematahkan
semangat Iwan – juga kakak dan adiknya – untuk menggapai cita-cita yang tinggi.
“Di tengah kesulitan, kami hanya bisa bermain dengan buku pelajaran dan mencari
tambahan uang dengan berjualan pada saat bulan puasa, mengecat boneka kayu di
wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu tetangga berdagang di pasar sayur,”
tulis Iwan. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan dapat membentangkan jalan keluar
dari penderitaan dan mengubah hidup seseorang.
Membaca novel ini, jelas tergambar sosok ibu yang berperan besar dalam
membangun karakter dan mengisi pendidikan anak-anaknya. Iwan menggambarkan
sosok ibunya cukup detail, sehingga pembaca bisa belajar banyak dari tokoh ini.
Ia menceritakan, ibunya membangun ide untuk menabung. Ibunya juga pintar
mengatur berapa liter nasi yang harus ditanak tanpa tersisa keesokan harinya,
kapan keluarganya harus makan daging, ayam, atau tempe.
Iwan mengungkapkan, ibunya tahu barang apa yang harus digadaikan untuk
membeli sepatu baru bagi anaknya dan mengatur pembayaran uang sekolah. “Dia
menghadirkan demokrasi berbagi di tengah pergulatan hidup. Ibuku adalah cermin
kesederhanaan yang sempurna di mata kami dan kesederhanaan inilah yang
menyelamatkan kami,” papar Iwan menggambarkan ibunya.
Kemiskinan rupanya tak menggoyahkan hati sang ibu. Melalui pendidikan, ibunya
yakin, anak-anaknya akan memiliki masa depan yang cerah. Karena itu, ia gigih berjuang
agar anak-anaknya tetap sekolah. “Ibu ngotot semua anaknya, termasuk yang
perempuan, harus sekolah sampai Universitas,” tutur Iwan.
Lulus dari SMAN 1 Batu dengan prestasi yang baik, Iwan mendapat undangan
khusus untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Berita itu disambut
gembira oleh keluarganya. Namun di sisi lain, ia gamang terhadap biaya kuliah
yang harus mereka tanggung. Tak ingin anak lelakinya kehilangan kesempatan
untuk meraih pendidikan tinggi, sang ayah menjual satu-satunya angkot yang
selama puluhan tahun telah menghidupi keluarga ini. Setelah tak memiliki angkot
lagi, ayah Iwan kemudian menjadi sopir truk.
Iwan diterima di jurusan Statistika, salah satu jurusan favorit di IPB.
Mahasiswa yang berhasil masuk jurusan ini semuanya memiliki IPK tinggi di
Tingkat Persiapan Bersama. Karena itu tingkat persaingannya pun sangat ketat.
Mulanya ia sempat grogi dan merasa tak yakin dapat memenuhi harapan
orangtuanya. Ia mengungkapkan kekhawatirannya itu. “Setelah tingkat dua, persaingan
menjadi semakin tajam dan tak sedikit mahasiswa yang harus mengulang atau drop-out.
Aku mungkin salah satu siswa terbaik di Batu, tapi di sini aku menjadi sangat
“kecil” di tengah siswa berprestasi lainnya: siswa teladan nasional, finalis
olimpiade matematika internasional, juara karya ilmiah nasional, dan sederet
prestasi panjang lainnya.”
Dalam kegalauan hatinya, ibunya menenangkan Iwan dengan mengatakan, “Coba
dulu, belajar yang rajin, jangan takut.” Nasihat sang ibu memberi keyakinan bahwa
menjalani proses adalah menjalankannya sekarang, saat ini, dengan kerja keras
dan melepaskan ketakutan akan hasil yang didapat. Kegagalan ataupun
keberhasilan sebuah proses adalah dimensi lain yang akan melahirkan pelajaran
baru untuk proses selanjutnya. Alhasil, Iwan berhasil menjadi lulusan terbaik
dari fakultas MIPA jurusan Statistika pada 1997.
Berikutnya, perjalanan Iwan menuju tangga kesuksesan dimulai. Setelah lulus
dari IPB, Iwan diterima bekerja di AC Nielsen Jakarta sebagai data analyst
selama dua tahun, lalu di Danareksa Research Institute (DRI). Tak lama
berkarier di DRI, Iwan mendapat tawaran yang sulit dia tolak, yaitu sebagai data
processing executive di Nielsen International Research di New York, AS. Ia
tak pernah bermimpi mendatangi New York, terlebih mendapat kesempatan karier di
perusahaan multinasional di negara Paman Sam itu. Tapi berkat kerja keras dan
ketekunan, ia berhasil melampaui mimpinya.
Setelah 8 tahun berkarier di New York, Iwan berhasil menduduki posisi tinggi,
sebagai Director Internal Client Management di Nielsen Consumer Research, New
York. Karena kerinduannya yang dalam pada tanah kelahirannya, Batu, di tahun
ke-10 Iwan memutuskan untuk berhenti dari perusahaan yang telah membesarkannya ini
dan memilih kembali ke Indonesia. “Aku ingin membangun sebuah kamar kecil, di
Tanah Airku,” janjinya.
“Namun tak selamanya gemerlap lampu-lampu New York
dapat mengobati kerinduan akan rumah kecil dan Tanah Airnya. Dan pada akhirnya,
cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.” □
(Tulisan ini juga dimuat di www.portalhr.com)
0 komentar:
Posting Komentar