Senin, 13 Agustus 2012

Mendidik Anak di Tengah Gempuran Teknologi


Oleh Firdanianty

Ketika duduk di kelas 6 SD, anak saya, Nadhira, bercerita tentang beberapa temannya yang keranjingan internet dan tanpa sepengetahuan orangtuanya sering pergi ke warnet untuk bermain game online. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Nadhira bertanya ke saya, ”Bun, kenapa orangtua mereka tidak melarang anaknya main game online? Padahal di sekolah nilai mereka selalu jelek. Mereka juga malas belajar. Yang diomongin setiap hari hanya games aja.” Nadhira tampak bingung, mengapa ada orangtua yang membiarkan anaknya tetap bermain games padahal nilai anak tersebut di sekolah jelek. ”Apa orangtuanya gak tahu ya Bun?” ia bertanya penasaran.


Tak mudah bagi saya untuk menjawab pertanyaan ini. Saya mengatakan bahwa setiap keluarga memiliki nilai-nilai yang berbeda. Lalu, saya beritahukan nilai-nilai apa yang kami anut, dan saya ungkapkan padanya bahwa saya ingin nilai-nilai itu tertanam dalam dirinya. Nilai-nilai penting seperti integritas, kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, disiplin, komitmen, passion (hasrat), empati, dan menghormati orang lain. Dengan memiliki nilai-nilai itu saya harap Nadhira dapat memahami perbedaan orang lain dan tetap mampu membentengi dirinya dari pengaruh lingkungan yang negatif.

Akan tetapi, saya tidak dapat menutup mata terhadap berbagai pengaruh yang menghampiri anak saya. Bagi anak seusianya, bertahan di tengah lingkungan yang menawarkan berbagai kemudahan teknologi ini tentu tidak mudah. Maraknya jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter ikut menambah daftar godaan yang tak mungkin bisa dihindari oleh anak-anak yang memasuki usia remaja. Di satu sisi, saya tahu bahwa media sosial memungkinkan anak saya mengenal orang dari berbagai belahan dunia. Namun di sisi lain, saya pun khawatir mengenai dampak yang ditimbulkan oleh berbagai media sosial terhadap perkembangan anak saya.

Thomas L. Friedman menyebut zaman yang dikuasai oleh kedigdayaan teknologi komunikasi dan informasi ini dengan istilah the world is flat. Kemudahan teknologi memungkinkan setiap orang dapat berinteraksi dengan orang lain begitu mudahnya karena dunia sudah menjadi datar. Tidak ada lagi sekat-sekat yang membatasi orang untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan siapa pun. Revolusi teknologi memaksa semua orang untuk menerima perubahan.

Tanpa disadari, perubahan ini berdampak pada pola asuh orangtua di rumah. Anak-anak dari “Generasi Platinum” menghadapi tantangan sekaligus godaan yang lebih besar dibanding generasi-generasi sebelumnya. Ketika saya kecil, orangtua kami hanya memiliki sebuah TV berukuran 14 inchi. Sementara anak-anak sekarang terbiasa menonton TV layar lebar. Di zaman saya hanya ada satu saluran yang dapat kami tonton, yaitu TVRI. Acara TV dimulai pukul 16.30 dan berakhir pukul 22.00 WIB. Dengan jam siaran yang pendek, otomatis saya lebih banyak menghabiskan masa kecil saya dengan bermain bersama teman-teman ketimbang duduk terpaku di depan TV. Di samping bermain, membaca buku menjadi pilihan lain yang menyenangkan bagi saya. Coba lihat anak-anak sekarang. Tak kurang dari belasan stasiun TV yang menyiarkan beragam acara yang dapat ditonton sejak matahari terbit hingga lewat tengah malam. Bukankah ini godaan yang sangat besar bagi siapa pun?

Di sekolah, anak-anak juga mengalami gegar budaya. Mengingat pengetahuan dapat diperoleh dengan mudah, kehadiran guru tidak lagi dianggap penting. Anak-anak cenderung meremehkan gurunya karena menganggap mereka ”jadul”. Guru-guru yang tidak cepat beradaptasi dengan teknologi informasi tentu akan sulit memahami perilaku anak dari “Generasi Platinum”. Kondisi ini akan menciptakan kesenjangan generasi yang jika tidak diatasi bisa berakibat fatal bagi masa depan anak. 

Sementara itu, di rumah banyak orangtua yang longgar dalam pemakaian komputer dan jam tayang TV bagi anak-anaknya. Mereka membiarkan saja anak-anak bergaul dengan komputer lengkap dengan fasilitas internet tanpa pengawasan yang ketat. Anak-anak yang tidak diberi rambu-rambu ini menganggap diri mereka bisa melakukan apa saja dengan komputer. Akibatnya, mereka lebih senang bermain dengan komputer atau menonton TV sepanjang hari daripada melakukan kegiatan lain.

Pemanfaatan internet yang berkembang pesat juga berdampak negatif terhadap pola komunikasi keluarga. Nicholas Car dalam bukunya The Sh@llows, Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?, mengungkapkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengakses media dari tahun ke tahun selalu meningkat. Hasil penelitian pada anak-anak Amerika pada usia 11-12 tahun memperlihatkan, pada tahun 2009 mereka menggunakan internet sekitar 11 jam seminggu atau meningkat lebih dari 60 persen sejak 2004. Data tersebut belum termasuk waktu yang dihabiskan orang dengan telepon seluler. Rata-rata remaja Amerika mengirimkan atau menerima 2.272 teks setiap bulan.

 Di seluruh dunia, lebih dari dua triliun pesan instan melintas antartelepon seluler setiap tahun. Perubahan ini diduga berdampak pada pola dan bentuk komunikasi orangtua terhadap anak-anaknya, yang selanjutnya berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak. Saya menyimpulkan, anak-anak yang lahir di era milenium menghadapi tantangan sekaligus godaan yang lebih besar dibandingkan generasi-generasi sebelumnya yang belum mengenal internet.

Perkembangan teknologi informasi mendorong perubahan hingga memasuki wilayah keluarga. Budaya di dalam rumah pun berubah. Dulu setiap keluarga selalu memiliki waktu untuk sekadar kumpul-kumpul, mengobrol, dan bercengkerama. Sekarang ini kalaupun berada dalam satu ruangan, tiap anggota keluarga punya aktivitas yang berbeda dan semuanya asyik sendiri-sendiri. Dalam jangka panjang perilaku ini akan membuat anak-anak jadi egois dan tidak peduli pada lingkungan di sekitarnya.

Friedman mengatakan, orangtua memainkan peran penting agar anak-anaknya mampu beradaptasi di tengah dunia yang datar. ”Orangtua harus mengetahui dalam dunia seperti apakah anak-anak mereka tumbuh dan berkembang,” ungkapnya. Dalam dunia yang seperti ini, ia menilai, dibutuhkan orangtua yang siap mengelola cinta dengan disiplin yang tinggi. ”Akan datang waktu di mana Anda harus menyingkirkan Game Boys, mematikan televisi, mematikan iPod, dan menyuruh anak-anak Anda untuk bekerja,” katanya.

Pola Asuh dan Pembentukan Karakter Anak 









Studi yang dilakukan oleh Fagan[1] menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan anak, di mana keluarga yang broken home, kurang kebersamaan dan interaksi antar keluarga, orangtua yang otoriter, dan adanya konflik dalam keluarga cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah. Rohner[2] membuat sebuah teori tentang tipe-tipe pola asuh yang dilakukan oleh orangtua dan dampaknya dalam pembentukan kepribadian anak. Menurutnya, pengalaman masa kecil seseorang sejak ia dilahirkan sangat memengaruhi perkembangan kepribadiannya. Pola asuh orangtua yang menerima (acceptance) maupun yang menolak (rejection) anaknya akan memengaruhi perkembangan emosi, perilaku, sosial kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dia dewasa.


[1] Fagan, P.F. 1995. The Real Root Causes of Violent Crime: The Breakdown of Marriage, Family and Community. Washington DC, Herritage Foundation.
[2] Rohner, R.P. 1975. They Love Me They Love Me Not. USA: Human Relations Area Files.


Afrina Sari mengungkapkan, melalui keluarga anak dibimbing untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya serta menyimak nilai-nilai sosial yang berlaku. Dalam berhubungan di keluarga dibutuhkan komunikasi yang baik. Komunikasi antarpribadi akan sering terjadi dalam pembentukan karakter seseorang. Komunikasi yang dilakukan dalam keluarga bertujuan untuk mempererat hubungan sosial antara individu-individu di keluarga. Komunikasi antarpribadi yang baik akan membawa kepada hubungan interpersonal yang  baik, sehingga terjadi pertukaran sosial yang baik pula. 

Sehubungan dengan pola asuh, pelawak Bill Cosby mengatakan, pendidikan – entah itu berasal dari sekolah atau dari orangtua – harus lebih dari sekadar keahlian kognitif. Menurut Cosby, pendidikan juga harus mencakup pembentukan karakter. Bayangkan, apa jadinya bila anak-anak kita yang punya kemampuan luar biasa dalam mengoperasikan dan memanfaatkan peralatan canggih ini tidak dibekali pendidikan karakter? Saya kira, mereka seperti orang yang kehilangan arah alias tak punya jati diri. Jelas, tugas orangtua di era millenium bukan sekadar memperbaiki penampilan yang kasat mata. Lebih dari itu, kita sedang mempersiapkan generasi baru yang kelak menjelajahi zaman yang berbeda dengan zaman orangtuanya. 

Kita tak bisa mengatakan, ”Aku belum siap.” Sekalipun kita tidak siap, anak-anak “Generasi Platinum” sudah berada di hadapan kita dan membutuhkan orangtuanya untuk membekali mereka dengan nilai-nilai yang positif. Jika kita ingin menjadi orangtua yang dapat memahami kebutuhan anak, maka belajarlah. Saya sendiri banyak belajar dari Nadhira. Saya perhatikan kata-kata yang dia ucapkan. Di mata saya setiap kata yang ia lontarkan mengandung makna. Saya lebih banyak mendengarkannya dan menempatkan diri saya sebagai teman diskusi ketimbang menjadi orangtua yang ”sok tahu”. Kadang Nadhira hanya ingin ”curhat”, namun ada kalanya ia juga butuh nasihat.

Di sinilah saya belajar memercayai Nadhira dan menghormati pendapatnya. Ini bukan berarti anak-anak yang mengendalikan kita. Tidak, bukan itu maksudnya. Jika diperlukan, orangtua juga harus bersikap tegas pada anak. Hanya saja, saat mendengarkan kata-katanya, saya tidak buru-buru memotong atau menyimpulkan ini dan itu. Mengapa? Karena kesimpulan kita belum tentu sama dengan yang dia pikirkan. Hal ini yang berbeda dengan zaman kita dulu di mana orangtua selalu menganggap dirinya benar. Akibatnya, komunikasi akan berjalan searah. Bila kita mengatakan ”tidak”, orangtua akan menyebut kita ”anak durhaka”. Menurut saya, inilah cap (stigma) yang paling menakutkan.

 Zaman telah berubah. Cara mendidik anak pun harus berubah. “Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu,” kata Khalil Ghibran dalam puisinya. Ghibran menunjukkan kepada kita bahwa anak bukanlah miniatur orangtuanya atau robot yang kita ciptakan. Setiap anak adalah dirinya sendiri yang berbeda dari orangtuanya. Mari kita bantu anak-anak kita mengenal dirinya sendiri agar ia dapat mengenal Tuhan-Nya.

Bogor, Senin, 23 Januari 2012 (Hari Raya Imlek).







0 komentar:

Posting Komentar