Oleh Firdanianty
Ketika duduk di kelas 6 SD, anak saya,
Nadhira, bercerita tentang beberapa temannya yang keranjingan internet dan
tanpa sepengetahuan orangtuanya sering pergi ke warnet untuk bermain game
online. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Nadhira bertanya ke saya, ”Bun,
kenapa orangtua mereka tidak melarang anaknya main game online? Padahal
di sekolah nilai mereka selalu jelek. Mereka juga malas belajar. Yang diomongin
setiap hari hanya games aja.” Nadhira tampak bingung, mengapa ada
orangtua yang membiarkan anaknya tetap bermain games padahal nilai anak
tersebut di sekolah jelek. ”Apa orangtuanya gak tahu ya Bun?” ia bertanya
penasaran.
Tak mudah bagi saya untuk menjawab
pertanyaan ini. Saya mengatakan bahwa setiap keluarga memiliki nilai-nilai yang
berbeda. Lalu, saya beritahukan nilai-nilai apa yang kami anut, dan saya ungkapkan
padanya bahwa saya ingin nilai-nilai itu tertanam dalam dirinya. Nilai-nilai
penting seperti integritas, kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, disiplin,
komitmen, passion (hasrat), empati, dan menghormati orang lain. Dengan
memiliki nilai-nilai itu saya harap Nadhira dapat memahami perbedaan orang lain
dan tetap mampu membentengi dirinya dari pengaruh lingkungan yang negatif.
Akan tetapi, saya tidak dapat menutup
mata terhadap berbagai pengaruh yang menghampiri anak saya. Bagi anak
seusianya, bertahan di tengah lingkungan yang menawarkan berbagai kemudahan
teknologi ini tentu tidak mudah. Maraknya jejaring sosial seperti Facebook dan
Twitter ikut menambah daftar godaan yang tak mungkin bisa dihindari oleh
anak-anak yang memasuki usia remaja. Di satu sisi, saya tahu bahwa media sosial
memungkinkan anak saya mengenal orang dari berbagai belahan dunia. Namun di
sisi lain, saya pun khawatir mengenai dampak yang ditimbulkan oleh berbagai
media sosial terhadap perkembangan anak saya.
Thomas L. Friedman menyebut zaman yang
dikuasai oleh kedigdayaan teknologi komunikasi dan informasi ini dengan istilah
the world is flat. Kemudahan teknologi memungkinkan setiap orang dapat
berinteraksi dengan orang lain begitu mudahnya karena dunia sudah menjadi
datar. Tidak ada lagi sekat-sekat yang membatasi orang untuk berkomunikasi dan
bekerja sama dengan siapa pun. Revolusi teknologi memaksa semua orang untuk
menerima perubahan.
Tanpa disadari, perubahan ini berdampak
pada pola asuh orangtua di rumah. Anak-anak dari “Generasi Platinum” menghadapi
tantangan sekaligus godaan yang lebih besar dibanding generasi-generasi
sebelumnya. Ketika saya kecil, orangtua kami hanya memiliki sebuah TV berukuran
14 inchi. Sementara anak-anak sekarang terbiasa menonton TV layar lebar. Di
zaman saya hanya ada satu saluran yang dapat kami tonton, yaitu TVRI. Acara TV
dimulai pukul 16.30 dan berakhir pukul 22.00 WIB. Dengan jam siaran yang
pendek, otomatis saya lebih banyak menghabiskan masa kecil saya dengan bermain
bersama teman-teman ketimbang duduk terpaku di depan TV. Di samping bermain,
membaca buku menjadi pilihan lain yang menyenangkan bagi saya. Coba lihat anak-anak
sekarang. Tak kurang dari belasan stasiun TV yang menyiarkan beragam acara yang
dapat ditonton sejak matahari terbit hingga lewat tengah malam. Bukankah ini
godaan yang sangat besar bagi siapa pun?
Di sekolah, anak-anak juga mengalami
gegar budaya. Mengingat pengetahuan dapat diperoleh dengan mudah, kehadiran
guru tidak lagi dianggap penting. Anak-anak cenderung meremehkan gurunya karena
menganggap mereka ”jadul”. Guru-guru yang tidak cepat beradaptasi dengan
teknologi informasi tentu akan sulit memahami perilaku anak dari “Generasi
Platinum”. Kondisi ini akan menciptakan kesenjangan generasi yang jika tidak
diatasi bisa berakibat fatal bagi masa depan anak.
Sementara itu, di rumah banyak
orangtua yang longgar dalam pemakaian komputer dan jam tayang TV bagi
anak-anaknya. Mereka membiarkan saja anak-anak bergaul dengan komputer lengkap
dengan fasilitas internet tanpa pengawasan yang ketat. Anak-anak yang tidak
diberi rambu-rambu ini menganggap diri mereka bisa melakukan apa saja dengan
komputer. Akibatnya, mereka lebih senang bermain dengan komputer atau menonton
TV sepanjang hari daripada melakukan kegiatan lain.
Pemanfaatan internet yang berkembang
pesat juga berdampak negatif terhadap pola komunikasi keluarga. Nicholas Car dalam
bukunya The Sh@llows, Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?, mengungkapkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengakses
media dari tahun ke tahun selalu meningkat. Hasil penelitian pada anak-anak
Amerika pada usia 11-12 tahun memperlihatkan, pada tahun 2009 mereka menggunakan
internet sekitar 11 jam seminggu atau meningkat lebih dari 60 persen sejak
2004. Data tersebut belum termasuk waktu yang dihabiskan orang dengan telepon
seluler. Rata-rata remaja Amerika mengirimkan atau menerima 2.272 teks setiap
bulan.
Perkembangan teknologi informasi mendorong
perubahan hingga memasuki wilayah keluarga. Budaya di dalam rumah pun berubah.
Dulu setiap keluarga selalu memiliki waktu untuk sekadar kumpul-kumpul,
mengobrol, dan bercengkerama. Sekarang ini kalaupun berada dalam satu ruangan,
tiap anggota keluarga punya aktivitas yang berbeda dan semuanya asyik
sendiri-sendiri. Dalam jangka panjang perilaku ini akan membuat anak-anak jadi
egois dan tidak peduli pada lingkungan di sekitarnya.
Friedman mengatakan, orangtua memainkan
peran penting agar anak-anaknya mampu beradaptasi di tengah dunia yang datar.
”Orangtua harus mengetahui dalam dunia seperti apakah anak-anak mereka tumbuh
dan berkembang,” ungkapnya. Dalam dunia yang seperti ini, ia menilai,
dibutuhkan orangtua yang siap mengelola cinta dengan disiplin yang tinggi.
”Akan datang waktu di mana Anda harus menyingkirkan Game Boys, mematikan
televisi, mematikan iPod, dan menyuruh anak-anak Anda untuk bekerja,” katanya.
Pola Asuh dan Pembentukan Karakter Anak
Studi yang dilakukan oleh Fagan[1]
menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara faktor keluarga dan tingkat kenakalan
anak, di mana keluarga yang broken home,
kurang kebersamaan dan interaksi antar keluarga, orangtua yang otoriter, dan
adanya konflik dalam keluarga cenderung menghasilkan remaja yang bermasalah.
Rohner[2]
membuat sebuah teori tentang tipe-tipe pola asuh yang dilakukan oleh orangtua
dan dampaknya dalam pembentukan kepribadian anak. Menurutnya, pengalaman masa
kecil seseorang sejak ia dilahirkan sangat memengaruhi perkembangan
kepribadiannya. Pola asuh orangtua yang menerima (acceptance) maupun yang menolak (rejection) anaknya akan memengaruhi perkembangan emosi, perilaku,
sosial kognitif, dan kesehatan fungsi psikologisnya ketika dia dewasa.
[1] Fagan,
P.F. 1995. The Real Root Causes of
Violent Crime: The Breakdown of Marriage, Family and Community. Washington
DC, Herritage Foundation.
Afrina Sari mengungkapkan, melalui keluarga
anak dibimbing untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya serta menyimak
nilai-nilai sosial yang berlaku. Dalam berhubungan di keluarga dibutuhkan
komunikasi yang baik. Komunikasi antarpribadi akan sering terjadi dalam
pembentukan karakter seseorang. Komunikasi yang dilakukan dalam keluarga
bertujuan untuk mempererat hubungan sosial antara individu-individu di
keluarga. Komunikasi antarpribadi yang baik akan membawa kepada hubungan
interpersonal yang baik, sehingga
terjadi pertukaran sosial yang baik pula.
Sehubungan
dengan pola asuh, pelawak Bill Cosby mengatakan, pendidikan – entah itu berasal
dari sekolah atau dari orangtua – harus lebih dari sekadar keahlian kognitif.
Menurut Cosby, pendidikan juga harus mencakup pembentukan karakter. Bayangkan,
apa jadinya bila anak-anak kita yang punya kemampuan luar biasa dalam
mengoperasikan dan memanfaatkan peralatan canggih ini tidak dibekali pendidikan
karakter? Saya kira, mereka seperti orang yang kehilangan arah alias tak punya
jati diri. Jelas, tugas orangtua di era millenium bukan sekadar memperbaiki penampilan
yang kasat
mata. Lebih dari itu, kita sedang mempersiapkan generasi baru yang kelak
menjelajahi zaman yang berbeda dengan zaman orangtuanya.
Kita tak bisa mengatakan, ”Aku belum
siap.” Sekalipun kita tidak siap, anak-anak “Generasi Platinum” sudah berada di
hadapan kita dan membutuhkan orangtuanya untuk membekali mereka dengan
nilai-nilai yang positif. Jika kita ingin menjadi orangtua yang dapat memahami
kebutuhan anak, maka belajarlah. Saya sendiri banyak belajar dari Nadhira. Saya
perhatikan kata-kata yang dia ucapkan. Di mata saya setiap kata yang ia
lontarkan mengandung makna. Saya lebih banyak mendengarkannya dan menempatkan
diri saya sebagai teman diskusi ketimbang menjadi orangtua yang ”sok tahu”.
Kadang Nadhira hanya ingin ”curhat”, namun ada kalanya ia juga butuh nasihat.
Di sinilah saya belajar memercayai
Nadhira dan menghormati pendapatnya. Ini bukan berarti anak-anak yang
mengendalikan kita. Tidak, bukan itu maksudnya. Jika diperlukan, orangtua juga
harus bersikap tegas pada anak. Hanya saja, saat mendengarkan kata-katanya,
saya tidak buru-buru memotong atau menyimpulkan ini dan itu. Mengapa? Karena
kesimpulan kita belum tentu sama dengan yang dia pikirkan. Hal ini yang berbeda
dengan zaman kita dulu di mana orangtua selalu menganggap dirinya benar.
Akibatnya, komunikasi akan berjalan searah. Bila kita mengatakan ”tidak”,
orangtua akan menyebut kita ”anak durhaka”. Menurut saya, inilah cap (stigma)
yang paling menakutkan.
Bogor, Senin,
23 Januari 2012 (Hari Raya Imlek).
0 komentar:
Posting Komentar