Senin, 25 Juni 2012

Seni Mendengarkan

Oleh Firdanianty

Saat memberi pelatihan jurnalistik di suatu sekolah menengah atas, seorang anak – sebut saja namanya Mira, 16 tahun – curhat kepada saya. Mira mengaku lebih senang mengungkapkan perasaannya ke buku harian daripada menceritakannya kepada orangtuanya. Saya tanya, kenapa? Menurutnya, buku harian dapat memahami perasaannya, sementara orangtuanya tidak. “Tiap kali saya cerita ke Ibu dan Bapak saya, saya lihat mereka tidak sungguh-sungguh mendengarkan saya,” ungkap Mira polos.


“Pada saat kamu cerita, apakah orangtuamu sedang sibuk?” tanya saya ingin tahu.

Saya lihat Mira menggelengkan kepala. “Tidak,” katanya. “Jika saya tahu Ibu atau Bapak sedang sibuk, saya tidak akan mengganggu mereka,” lanjutnya.

“Lalu, apa yang membuatmu merasa bahwa orangtuamu tidak sungguh-sungguh mendengarkanmu?” tanya saya lagi.

“Orangtua saya sering mengatakan, jika saya punya masalah, saya boleh membicarakannya dengan mereka. Namun, tiap kali saya cerita ke mereka, sepertinya mereka tidak sungguh-sungguh mendengarkan keluh-kesah saya,” ujarnya. “Bapak saya, misalnya, mungkin hanya setengah serius mendengarkan permasalahan saya. Sepertinya Bapak lebih suka mengerjakan hal lain daripada mendengarkan cerita saya. Ibu saya juga begitu. Katanya siap mendengarkan saya, tapi yang Ibu sering lakukan tidak lebih hanya menceramahi saya,” tutur Mira dengan mimik sedih. “Karena itu saya lebih suka menulis diary,” katanya seraya melanjutkan, “dan, saya berharap setelah pelatihan ini saya dapat menulis lebih baik lagi.”

   Sebagai pengajar, saya tentu senang jika murid saya mau mempraktikkan apa yang saya ajarkan ke mereka. Namun, mendengar penuturan Mira, saya melihat ada yang tidak beres dalam cara berkomunikasi antara ia dan orangtuanya. Kendati orangtua Mira telah menyampaikan kepada anaknya bahwa mereka menyediakan diri untuk mendengar, pesan yang diterima oleh Mira tidaklah demikian. Untuk melakukan komunikasi yang terbuka dengan anak-anak, orangtua harus belajar menjadi pendengar yang baik.
                                                                                                                                                                                                 
Selama ini kita berpikir, mendengar adalah aktivitas pasif. Sebenarnya, menjadi pendengar berarti melakukan kegiatan aktif. Memang terdengar aneh, tetapi mendengarkan dengan baik ternyata membutuhkan konsentrasi dan energi yang besar. Ketika berkomunikasi dengan anak-anak, orangtua sebaiknya belajar menjadi pendengar yang baik. Dalam hal ini orangtua harus memperlihatkan dengan jelas bahwa mereka “sungguh-sungguh” menyediakan waktu untuk kegiatan ini.

Menjadi Pendengar Aktif

Keputusan orangtua untuk menjadi pendengar aktif memberi pengaruh terhadap hubungan orangtua dan anak. Anak menjadi tidak ragu untuk mendiskusikan apa yang terjadi padanya. Sebagian orangtua menyambut hal ini dengan senang. Di lain pihak, ada pula orangtua yang merasa tugasnya bertambah, yaitu: meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengarkan anak.

Mengapa banyak orangtua merasa sulit mendengarkan anaknya? Jawabannya beragam. Tekanan dan stres yang dialami orangtua, misalnya karena pekerjaan di kantor yang menumpuk, merupakan salah satu penyebabnya. Dalam suasana hati yang tidak menentu, orangtua biasanya memilih menghindar untuk mendengarkan anaknya. Kalaupun mendengarkan, orangtua cenderung menjadi pendengar pasif alias hanya basa-basi.

Jelas, ada bedanya antara pendengar aktif dan pasif. Kendati keduanya sama-sama mendengarkan, tetapi berbeda di dalam pendekatan. Menjadi pendengar pasif berarti kita hanya sekadar mendengarkan, tetapi tidak menyimak pembicaraan dan kurang menampakkan antusiasme dalam menanggapi cerita anak. Sebaliknya, menjadi pendengar aktif berarti orangtua siap memberi respons positif atas pembicaraan anak. Menurut saya, sangat baik memberikan waktu – kendati hanya sebentar – untuk menjadi pendengar aktif daripada menjadi pendengar pasif atau mendengarkan setengah terpaksa.

Stephen R. Covey dalam bukunya The 8th Habit mengatakan, sebagian besar orang berpikir bahwa mereka telah tahu cara mendengarkan karena mereka telah melakukannya sepanjang waktu. Tetapi sebenarnya mereka mendengarkan dari kerangka berpikir mereka sendiri. “Untuk benar-benar mendengarkan Anda harus keluar dari batas-batas otobiografi Anda, keluar dari kerangka referensi Anda, keluar dari sistem nilai Anda, keluar dari sejarah Anda maupun kecenderungan penilaian Anda, dan masuk secara mendalam pada kerangka acuan atau sudut pandang dari orang yang berbicara. Inilah yang disebut mendengarkan dengan empati,” tulis Covey.

Alangkah baiknya jika orangtua dapat berhenti sejenak dari berbagai kesibukan untuk menanggapi keluh-kesah buah hatinya secara terbuka. Jika orangtua sedang dalam kondisi sibuk dan tidak memungkinkan untuk menjadi pendengar aktif, lebih baik menundanya tetapi menjanjikan sesuatu yang berarti bagi anak. Misalnya, katakan pada anak, “Nak, sekarang Bunda sibuk sekali. Bisakah kita bicara 15 menit lagi?” Menyampaikan kata-kata seperti itu lebih baik daripada orang tua hanya menjadi pendengar pasif.

Setidaknya, anak akan mengetahui dan berpikir bahwa Ibu atau Ayah mereka peduli terhadap apa yang akan dia ceritakan dan berniat menyediakan waktu 15 menit mendatang. Ketika buah hati Anda mau menunggu selama waktu yang dijanjikan, jangan lupa memujinya dengan mengatakan betapa Anda sangat menghargai kesabarannya untuk menunggu. Percayalah, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang dipenuhi respek dari orangtuanya akan tumbuh menjadi pribadi yang senantiasa menghormati orang lain. □  (Bogor, 28 Maret 2011).
 _________________________________________________________________________________
 
Tentang Mendengarkan*

Saat aku memintamu untuk mendengarkan dan engkau mulai memberikan nasihat, engkau tidak melakukan apa yang kuminta. Saat aku memintamu untuk mendengarkanku dan engkau mulai bertutur mengapa seharusnya aku tak merasa begitu, engkau menghina perasaanku. Saat aku memintamu untuk mendengarkan dan engkau merasa harus melakukan sesuatu untuk memecahkan masalahku, engkau mengecewakanku, meski mungkin ini terdengar aneh.

Dengarkan! Aku hanya memintamu untuk mendengarkan; bukan berbicara atau berbuat – dengarkan saja aku... Aku bisa berbuat sendiri, aku bukan tak berdaya. Mungkin agak kurang semangat dan kehilangan kepercayaan diri, tetapi bukan tak berdaya. Jika engkau melakukan sesuatu untukku, padahal aku bisa dan harus kulakukan sendiri, engkau hanya menambah rasa takut dan perasaan ketidakmampuanku. Tapi, jika engkau menerima kenyataan bahwa aku merasakan apa yang aku rasakan, seberapa pun tak masuk akalnya, maka aku bisa berhenti berusaha meyakinkanmu dan mulai berusaha memahami apa sebenarnya di balik perasaanku yang tidak masuk akal itu. Dan jika hal itu sudah jelas, jawabannya pasti akan muncul dan aku tak perlu nasihat.

*Ralph Roughton, M.D. dikutip dari buku The 8th Habit karya Stephen R. Covey.





0 komentar:

Posting Komentar