Senin, 25 Juni 2012

Saat Kepompong Menjadi Kupu-Kupu

Senin, 22 Juni 2009 adalah hari bersejarah bagi anak-anak kelas 6 di SD Hanaeka. Ketika nama mereka dipanggil satu per satu ke depan kelas, wajah anak-anak yang semula tegang perlahan-lahan mencair, berubah menjadi rona bahagia. Ekspresi mereka bermacam-macam. Ada yang menggaruk-garukkan kepala sambil cengar-cengir, ada yang hanya tersenyum simpul, ada yang melongo sambil menatap kertas berisi nilai UASBN-nya, dan ada pula yang diam-diam meneteskan air mata bahagia.


Saya bersyukur bisa ikut menyaksikan momen yang membahagiakan itu. Hadir di tengah anak-anak kelas 6 dan bersama orangtua ikut merayakan kelulusan mereka, memberi makna yang dalam buat saya. Apalagi saya diberi kesempatan oleh Bunda Tientje (Kepala Sekolah Hanaeka) untuk memanggil anak-anak itu dan menyerahkan kertas hasil UASBN mereka. Ketika anak-anak maju ke depan satu demi satu, saya memerhatikan bahwa mereka kini bukan kanak-kanak lagi. Beberapa anak laki-laki suaranya sudah berubah, bahkan tinggi badannya sudah melebihi orangtuanya. Sementara anak-anak perempuan, kelihatan sudah seperti gadis remaja.

Saya lalu membayangkan anak-anak itu 6 tahun silam saat mereka menginjakkan kakinya pertama kali di Hanaeka. Barangkali, ada di antara anak-anak itu yang takut untuk masuk ke kelasnya, ada yang menangis, mogok sekolah, atau mau masuk kelas asal ditemani orangtuanya. Sebagai orangtua, Anda mungkin bingung dan frustrasi menghadapi situasi seperti itu. Tetapi, apa pun ceritanya dulu, segala ketidakpastian itu kini terobati. Setelah enam tahun menjalani hidup di Hanaeka, anak-anak yang saya ibaratkan seperti kepompong itu telah menjelma menjadi kupu-kupu indah yang siap mengepakkan sayapnya ke tempat yang lebih tinggi.

Jika menengok ke masa lalu, tentu ada banyak peristiwa yang terjadi pada diri masing-masing anak. Ada anak yang sejak awal sudah menunjukkan kepeduliannya pada sekolah sehingga cenderung mudah mengikuti pelajaran. Tetapi anak lain tidak demikian. Beberapa di antara anak-anak ini ada yang mengalami kesulitan belajar sehingga butuh waktu lebih lama untuk menerima pelajaran. Ada pula anak yang tidak bisa diam, selalu ingin bergerak, dan hobinya mengganggu orang lain. Anak-anak seperti ini enggan menyelesaikan tugas-tugas sekolah, karena yang ada di benaknya hanya bermain.

Tetapi, seperti apa pun mereka dulu, hari itu semuanya tampil sebagai sosok anak-anak yang matang. Bagaimana bisa? Nah, di sinilah rahasianya. Kebanyakan orangtua menginginkan hasil yang instan. Tetapi anak adalah manusia. Dan, manusia membutuhkan proses untuk bisa tumbuh menjadi lebih dewasa dan matang. Bayangkan, seorang calon bayi perlu mendekam di perut ibunya selama 9 bulan sebelum lahir ke dunia. Itu artinya, setiap proses yang dijalani manusia selalu butuh waktu. Bagi anak-anak, setidaknya perlu waktu 12 tahun untuk membangun karakternya hingga mereka mampu memasuki dunia yang lebih luas.

Dalam hal ini, sekolah memegang peran yang sangat penting. Di dalam sekolah terdapat guru-guru dan kepala sekolah, sistem pembelajaran, kurikulum, fasilitas belajar, lingkungan sekolah dan lain-lain, yang semuanya berkontribusi terhadap pembentukan karakter anak. Sehubungan dengan itu, saya menilai bahwa SD Hanaeka sudah menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Selama 6 tahun di Hanaeka, anak-anak tidak hanya diisi dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga belajar menjadi manusia  seutuhnya. Yakni, manusia yang seimbang antara perkembangan fisik, pikiran, dan jiwanya (body, mind, and soul). Karena itu, pada saat menyaksikan kelulusan anak-anak, saya lihat mereka tidak hanya tumbuh semakin besar, tetapi juga mampu menunjukkan prestasi gemilang dan sikap yang matang.

Di usia yang masih muda, anak-anak Hanaeka sudah belajar bertanggung jawab atas target yang mereka tetapkan sendiri. Hal ini terlihat dari jawaban mereka ketika saya menanyakan tentang target nilai. Kepada setiap anak saya bertanya, ”Sebelum ujian, kamu punya target nilai tidak?” Anak-anak menganggukkan kepala. ”Berapa target nilaimu?,” lanjut saya. ”Yah...kira-kira 24,” jawab seorang anak. Saya lalu menyerahkan nilainya sambil meminta dia membacakan berapa angka yang tertera di kertas itu. Sambil menggaruk-garuk kepalanya ia berujar, ”26....” Senyum anak itu melebar. Saya yakin hatinya gembira karena hasil yang diperoleh lebih tinggi dari yang ditetapkannya sendiri.

Saya takjub mendengar jawaban dari masing-masing anak yang berbeda-beda. Anak-anak tidak malu mengungkapkan target nilainya dan tetap percaya diri sekalipun target mereka berbeda dari teman-temannya. Di sini saya belajar bahwa anak-anak Hanaeka telah mampu menjadi dirinya sendiri. Selain itu, sungguh luar biasa manakala semua anak mampu melampaui targetnya masing-masing. Tidak seorang pun dari 17 anak yang mengikuti UASBN tahun ini memperoleh hasil di bawah target mereka. Saya berandai-andai, jika sejak kecil anak-anak diarahkan untuk menetapkan tujuan dan berhasil mencapainya, di masa dewasa nanti mereka akan menjadi orang yang selalu berkomitmen dengan tujuannya. Insya Allah.

Menurut saya, guru-guru di Hanaeka telah berhasil menanamkan motivasi dalam diri setiap anak sehingga mereka memiliki hasrat (passion) yang tinggi untuk berprestasi. Sekalipun prestasi akademik bukan segalanya, saya setuju bila anak-anak diarahkan untuk berusaha semaksimal mungkin mengeluarkan seluruh kemampuan terbaiknya. Dan, yang lebih penting, anak-anak melakukannya secara jujur. Nilai kejujuran ini  ditanamkan dengan kuat oleh Bunda Tientje. Sehingga, tiap kali menghadapi ujian, anak-anak Hanaeka sudah terbiasa menjawabnya sendiri. Anak-anak tampaknya menyadari, bila mereka berhasil memberikan yang terbaik dari dirinya, kebahagiaan itu bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga mereka persembahkan untuk orangtua dan gurunya.

Hanya saja, orangtua sering kali tidak menyadari hal ini. Sebagian orangtua masih berkutat pada egonya yang pada akhirnya malah menenggelamkan potensi anak. Selama tiga tahun kelulusan Hanaeka, saya mengamati bahwa tren hasil UASBN anak-anak cenderung meningkat. Tahun ini nilai terendah di atas 21 (rata-rata 7) dan tertinggi di atas 28 (rata-rata 9). Tak tanggung-tanggung, kali ini Hanaeka menyabet nilai UASBN tertinggi se-Bogor Utara. Selain guru di sekolah, peran orangtua tentu tak bisa diabaikan. Orangtua memberi lingkungan yang kondusif di rumah sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan baik. Saya yakin, di balik keberhasilan anak-anak Hanaeka, ada kontribusi yang besar dari orangtuanya. Di sinilah terjadi sinergi yang positif antara sekolah (guru), anak, dan orangtua.

Saya berpendapat, segala upaya yang dilakukan kepala sekolah dan guru-guru di SD Hanaeka dalam mengembangkan potensi dan meningkatkan kualitas lulusannya, tak berbeda jauh dengan para CEO dan manajer di perusahaan. Dalam hal ini, guru-guru di Hanaeka berhasil menciptakan suasana belajar yang kondusif, sehingga anak-anak memiliki motivasi belajar yang tinggi. Hasilnya luar biasa. Anak-anak yang saya ibaratkan seperti kepompong itu pada saat lulus menjelma menjadi kupu-kupu yang indah dalam waktu 6 tahun.

Sementara itu, banyak CEO dan manajer di perusahaan yang gajinya lebih besar dari gaji kepala sekolah dan guru, tidak mampu mengantarkan karyawannya menjadi kupu-kupu. Cukup banyak karyawan di perusahaan yang bekerja selama belasan hingga puluhan tahun, namun tidak ada peningkatan apa pun. Bahkan, tak sedikit di antara karyawan itu yang justru mengalami penurunan kualitas karena merasa tertekan atau kurang menyenangi pekerjaannya. Dalam hal ini, tidak ada salahnya CEO dan manajer perusahaan belajar dari kepala sekolah dan guru.

Melihat kegigihan guru dan sistem di Hanaeka yang sudah berjalan selama ini, saya optimistis, anak-anak akan mampu meraih prestasi tinggi sebagaimana dicontohkan oleh kakak-kakaknya yang telah lulus. Kepada Bunda Tientje dan guru-guru, saya mewakili orangtua di Hanaeka ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kalian benar-benar pahlawan yang tak mengharapkan pamrih dari siapa pun. Semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan dan semangat kepada Bunda Tientje dan guru-guru. Kami menitipkan anak-anak kami dengan harapan agar mereka menjadi anak yang mengenal dirinya sendiri dan memiliki kerendahan hati untuk berbagi kepada sesama. Semoga.  ■

0 komentar:

Posting Komentar